Relevansi Kajian Film dalam Studi Bahasa dan Sastra Indonesia

 .

Hubungan antara kajian sinema dengan Studi Bahasa dan sastra Indonesia banyak sekali tanpa kita sadari. Film merupakan salah satu alat komunikasi massa, tidak dapat dipungkiri bahwa antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Sebuah film adalah tampilan gambar-gambar dan adegan bergerak yang disusun untuk menyajikan sebuah cerita pada penonton (Montgomery, 2005:342). Teknik penggabungan gambar inilah yang disebut dengan montase.

Sebagai alat komunikasi massa, maka film memerlukan medium yang disebut bahasa. Oleh karena itu, bahasa dan film memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa yang digunakan dalam sebuah film tidak hanya yang bersifat verbal saja melainkan juga nonverbal. Maksudnya ialah, makna yang akan disampaikan sebuah film itu tidak hanya dihasilkan dari bunyi bahasa yang ada dalam film melainkan juga dari gerak tubuh yang memiliki makna. Pada dasarnya, bahasa merupakan sistem lambang bunyi atau simbol yang memiliki makna. Namun, tidak semua bunyi yang dikeluarkan oleh manusia itu disebut dengan bahasa, misalnya suara kentut, suara orang batuk, bersin, dan lain-lain. Konsep mengenai bahasa yang sederhana ini, tidak bisa dijadikan patokan bahwa suatu bahasa itu harus dikeluarkan oleh alat ucap manusia. Bahasa juga bisa berupa gambar atau ikon, indeks, dan simbol. Ini seperti yang diungkapkan oleh Pierce (seorang ahli bahasa). Kita lihat orang yang tuna wicara, apakah bahasa yang dikeluarkan oleh ucapnya bermakna? Tentu memiliki makna bagi orang itu sendiri, namun makna tersebut belum atau tidak bisa ditangkap oleh lawan bicara tanpa ada gerakan tubuh yang membantunya. Hal inilah yang biasa disebut bahasa isyarat. Kenyataannya kita bisa terharu melihat film yang kita pun tidak tahu bahasanya. Kita bisa mengerti karena kita melihat apa yang dilakukan tokoh dalam film tersebut.

Film sangat berbeda dengan seni sastra, seni rupa, seni suara, seni musik, dan arsitektur yang muncul sebelumnya. Seni film mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku produksi maupun dalam hal penyampaian terhadap penontonya. Film merupakan penjelmaan terpadu antara berbagai unsur yakni sastra, teater, seni rupa, dengan teknologi canggih, dan modern serta sarana publikasi (Baksin, 2003:3). 

Dalam mengkaji sastra,  ada dua bidang kajian yang dikaji yakni ilmu sastra dan karya sastra.  Ilmu sastra membahas tentang teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Sedangkan karya satra sastra merupakan bangunan bahasa yang utuh dan lengkap pada dirinya sendiri, mewujudkan dunia rekaan, mengacu pada dunia nyata atau realitas, dan dapat dipahami berdasarkan kode norma yang melekat pada sistem sastra, bahasa, dan sosial budaya tertentu (Noor, 2006:06). Sebuah film itu muncul dari imajinasi manusia, meskipun kadang mendekati dengan kebenaran namun kebenaran yang ada dalam sebuah film itu tidak bersifat absolut. Film sama halnya dengan karya sastra yaitu sebuah tiruan alam dan kehidupan manusia. Unsur-unsur yang ada dalam karya sastra seperti tokoh, alur, perwatakan, setting, amanat, dan lain sebagainya terdapat juga dalam sebuah film. Biasanya sebuah film itu dihasilkan dari tranformasi dari karya sastra.

Karya sastra dengan film sangat erat sekali kaitannya, analogi sederhana ibarat karya sastra adalah gajah maka film itu belalainya. Film itu adalah karya sastra yang ditransformasikan menjadi suatu hal yang bisa dilihat dan didengar serta dirasakan juga makna yang disampaikan di dalamnya. Sebuah film juga mencerminkan sosial budaya masyarakat pada suatu zaman sama seperti karya sastra. Proses pembuatan film sangatlah kompleks. Tidak hanya di Indonesia saja, transformasi karya sastra ke film pasti akan membutuhkan orang yang pandai membuat sekenario, nah biasanya itu adalah orang yang bergelut dalam sastra. Selain itu, pasti juga membutuhkan editor untuk mengoreksi naskah sebelum film itu dibuat. Seorang editor pasti juga pernah bergelut dalam bidang bahasa dan sastra. Jadi sudah jelas sekali bahwa kajian sinema sangat berkaitan dengan Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.

James Monaco menyatakan bahwa sebuah film itu pasti mengkomunikasikan arti atau mempunyai pesan yang disampaikan kepada penonton. Ada dua cara dilakukan film ketika ia mengkomunikasikan arti, yaitu secara denotatif  dan secara konotatif. Secara denotatif yaitu sesuatu yang apa adanya terlihat dan terdengar oleh si penonton (makananya dapat tertangkap jelas oleh indra manusia). Sedangkan secara konotatif, yaitu penonton meraba sendiri makna yang terkandung dalam sebuah film itu yang disampaikan secara implisit atau tersirat. Hal ini sesuai dengan konsep bahasa yang dikemukakan oleh Roland Barthes, yaitu bahwa bahasa itu memiliki makna denotasi dan konotasi. Makna-makna ini berkaitan dengan tradisi sosial budaya seseorang yang memberi makna tersebut. Misalnya, burung garuda di Indonesia memiliki makna denotasi sejenis unggas yang memiliki sayap dan bulu, memiliki dua kaki, bisa terbang dan memiiki paruh. Sedangkan makna konotasinya adalah sebagai lambang negara Indonesia. Berbeda maknanya jika konsep makna garuda itu berada di negara asing.

Studi Bahasa dan Sastra Indonesia perlu mengkaji kajian film atau sinema karena film itu representasi kehidupan nyata seperti karya sastra baik itu novel maupun cerpen. Teori sastra dalam kajian ilmu sastra yang akan membahas lebih mendalam mengenai struktur film baik dari segi intrinsik maupun ekstrinksik, sehingga akan mengetahui pesan yang lebih mendalam yang disampaikan film itu kepada penotonnya. Selanjutnya, ada kajian kritik sastra dalam ilmu sastra untuk mengkritik film untuk menghasilkan film-film yang terbaik selanjutnya. Dan yang terakhir sejarah sastra untuk mengetahui perkembangan pemikiran manusia yang mengemuka dalam karya sastra atau sebuhm film yang diangkat dari cerpen atau novel.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka jelas sekali relevansi antara kajian sinema dengan Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Kajian sinema membutuhkan sastra dari segi ilmu sastra (sejarah sastra, teori sastra, dan sejarah sastra) maupun karya sastranya untuk ditransformasikan dalam bentuk audio visual. Selain membutuhkan sastra, kajian sinema juga sangat membutuhkan bahasa untuk menyampaikan pesan yang terkandung di dalamnya

Dikutip dari:

Baksin, Askurifai. 2003. Membuat Film Indie Itu Gampang. Kataris: Bandung.

Montgomery, Tammy L. 2005. Interpretations: writing, reding, and critical thinking. Pearson Education: New York

Monaco, James, 1984. Cara Menghayati Sebuah Film. Yayasan Citra: Jakarta.

Noor, Redyanto. 2006. Pengkajian Sastra. Fasindo: Semarang.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS CERPEN “KEMARAU” KARYA ANDREA HIRATA DENGAN PENDEKATAN STILISTIKA

Sepi

REGISTER BAHASA NELAYAN DI KECAMATAN DUKUHSETI KABUPATEN PATI